Selasa, Agustus 19, 2008

IQRAA BISMIRABBIKA...

DI DEPAN ALLAH, BERSAMA ALLAH, DITUNTUN ALLAH untuk MEMBACA ALLAH...

(lanjutan artikel SIKAP BERKETUHANAN...)



Sekarang marilah kita lakukan proses iqraa tentang ALLAH di dalam sebuah aktivitas shalat. Karena memang shalat merupakan sebuah kegiatan yang didalamnya penuh dengan suasana respon merespon antara Allah dengan hamba-Nya. Ada komunikasi timbal balik antara Allah dengan kita. Ada Allah yang sedang mengaku didepan kita, dan kita hanya tinggal mengiyakan dan membenarkan saja setiap pengakuan-Nya itu.

Karena kita akan berkomunikasi timbal balik dengan Allah, maka haruslah kita duduk dulu diposisi ’laa ilaha illallah”. Kita haramkan apapun juga selain Allah (takbiratul ihram) muncul dalam kesadaran kita, kosong, sampai yang ada cuma Allah yang kita sadari dengan penuh.

Dengan SIKAP KESENGAJAAN (NIAT), tidak sambil lalu saja, pertama-tama mulailah kita membawa kesadaran kita ke Ruang Spiritual, sebuah ruang kosong tunggal maha besar (SANG AHAD), seperti yang kita lakukan diatas tadi. Tanda bahwa kita sudah berada Ruang Spiritual ini adalah: saat kita mengamati dada kita, disana sudah tidak ada lagi wujud MATERI (rupa, warna, aksara, nyala) yang mengganduli dan menghalangi dan menyempitkan dada kita. Saat itu dada kita telah menjadi bening, lapang, luas, tenang, sehingga dada kita tersebut siap untuk DIISI oleh Allah. Karena memang dada kita adalah RUMAH ALLAH, BAITUL HARAM. Disanalah Allah akan menyatakan keberadaan-Nya. Dia akan meletakkan Respon-Nya, Ilham-Nya, Pengajaran-Nya, Kasih Sayang-Nya, Kelembutan-Nya, Kehendak-Nya, Bahasa-Nya (qalam) kedalam dada kita saat mana dada kita itu sudah kita HARAMKAN untuk diisi oleh wujud materi apapun juga. KOSONG...

Laa ilaha illallah...!. Menyadari KOSONG (al Bathinu, Alif Lam Mim)..., lalu MEMANCAR..., dan pada saat yang sama kita ketemu ADA (Adh Dhahiru, Dzaa likal kitab), yaitu INI, di SINI. Lalu diamlah, siap-siaplah...

”Wahai hamba-Ku, Akulah Allah, tiada sesuatu apapun lagi yang layak kau sembah selain dari Aku. Bukankah Aku ini Maha Besar...?. Lihatlah..., betapa Aku ini Maha Meliputi segala sesuatu...!. Maka shalatlah untuk menyembah Aku...!”,

Sang Ada menyampaikan pengakuan-Nya dihadapan kita. Tiba-tiba saja dada kita dialiri oleh sebuah rasa kagum yang sangat MENCEKAM. Keluasan dan kebesaran yang sangat mencekam menyelimuti dada kita. Menggetarkan sekali, mencekam sekali. Maha sekali...!. Berdiri sendirian ditengah padang pasir yang kelam dimalam hari, atau berada dipuncak sebuah gunung sendirian, atau naik sampan sendirian di tengah laut sudah sangat mencekam sekali. Apalagi berada sendirian, dimana tidak ada apa-apa, kosong kecuali hanya Ada Allah..., sungguh mencekam dan mengetarkan sekali.

Biarkanlah Dia menyelesaikan pengakuan atas kemahabesaran-Nya itu sampai kemudian yang tinggal di dada kita hanyalah keberadaan-Nya yang pekat. Kalau tidak begitu, kita mau bersaksi apa saat kita membaca Allahu Akbar. Jangan-jangan selama ini saat kita membaca Allahu Akbar itu kita memang hanya sekedar karena ada ilmunya saja. Ilmu bahwa kalau takbir kita harus baca Allahu Akbar, yang artinya Allah Maha Besar. Titik. Padahal ilmu tentang sesuatu itu, ilmu apa saja, pastilah bercerita tentang hal dan keadaan yang sebenarnya dari sesuatu itu. Masak sih kita mau seperti seekor burung BEO terus. Kita hanya sekedar berbicara saja tanpa bisa ’duduk’ dalam suasana apa yang sedang kita baca (Iqra). Seekor burung beo bisa mengucapkan selamat pagi dengan mantap sekali dan berulang-ulang pula: ”Selamat pagi..., selamat pagi..., selamat pagi”. Seakan akan si burung tahu persis tentang suasana dan keadaan dari ungkapan selamat pagi itu. Padahal saat itu
adalah ditengah malam yang pekat.

Setelah munculnya ketercekaman kita atas pengakuan Allah atas kemahabesaran-Nya sendiri, barulah kemudian kita sambut pengakuan-Nya tersebut dengan santun dan merendah-rendah: ”ALLAHU AKBAR...!”. Dan dada kitapun menjadi penuh dengan rasa kesaksian kita kepada-Nya: ”Bala syahidna, benar ya Allah, hamba bersaksi, bahwa Paduka adalah Allah. Paduka sungguh Maha Besar. Paduka sungguh Maha Meliputi segala sesuatu. hamba siap untuk Paduka tuntun untuk membaca dan menyembah Paduka di dalam liputan Paduka sendiri yang Maha Besar”, ungkap kita dalam sebuah kesaksian bahwa memang DI SINI ADA ALLAH, SANG ADA, SANG TANPA BATAS...”. INI...!”. Lalu diamlah untuk setarikan nafas...

”Wahai hamba-Ku, bukankah seyogyanya hanya kepada Wajah-Ku saja kamu seharusnya menghadapkan wajahmu?. Saat kapanpun juga. Apakah itu saat berdiri, saat duduk, atau bahkan saat kamu leyeh-leyeh tiduran sekalipun, seharusnya kamu hanya menghadapkan wajahmu kepada Wajah-Ku saja, Wajah yang meliputi segala sesuatu...”, Sang Ada menuntun kita mengarahkan wajah kita ke Wajah-Nya.

Lalu DERR..., Dia menuntun kita lebih dalam menghadap ke Wajah-Nya. Sehingga mau tidak mau kitapun membenarkan pengakuan-Nya dengan merendah-rendah:”Inni wajjahtu wajhiya..., o ya benar, ternyata aku sedang menghadapkan wajahku kepada Wajah Dia...”. Dan sejak itulah kita siap untuk dituntun selangkah demi selangkah (Isti’anah) oleh Allah sendiri untuk membaca Diri-Nya dengan segala kehebatan-Nya. Araftu Rabbi bi Rabbi...

Ya..., kita dibacakan-Nya sendiri segala sesuatu tentang diri-Nya, tentang atribut-Nya, tentang selendang-Nya..., tentang curriculum vitae-Nya, tentang segala sesuatu apapun juga, dan selanjutnya kita hanya tinggal mengiyakan saja semuanya itu dengan tadarru’.

Mari kita ikuti selangkah demi selangkah...

Bersambung
Deka

Tidak ada komentar: